Permainannya amat luar biasa!
Dengan karisma yang amat menyejukkan mata itu, tubuh jangkungnya meliuk-liuk sembari memegang erat bola karet merah lumayan besar diantara para pemain luar kandang yang memang berambisi sama dengannya. Was-was, manik hitam matanya bergerak teratur ke segala arah. Ke samping, ke depan, dan kalau memungkinkan ke belakang. Seorang pemain bernomor punggung sama dengannya, namun jelas berbeda tim, berusaha mematahkankan segala usaha kerasnya mengendalikan permainan. Hampir saja bola merah itu raib dari cengkramannya kalau saja gerakan menghindar yang amat sempurna itu ia praktekan telat sedetik saja. Pemain itu dibuatnya pasrah karena langkahnya untuk menuju kemenangan tinggal hitungan detik. Benar saja, tubuh jangkungnya melompat menggapai tepian ring. Cukup lama ia bergelayutan disana. Membuat sekian pasang mata berharap cemas. Dan nampaknya ia amat menyukai saat-saat itu. Saat dimana jantung-jantung dalam keadaan berdebar kencang menunggu hasil yang akan ia ciptakan. Nama besar sekolah memang sedang ada dalam genggaman tangannya.
Akhirnya, saat-saat mendebarkan itu sirna juga. Setelah lumayan lama bergelayutan di ring, bola basket itu ia jatuhkan kedalam ring. Sekian detik berlalu, deru keras hentakan kaki penonton di tribun membahana. Tepuk tanganpun tak terhitung lagi banyaknya. Semua mata tersenyum. Lebih tepatnya terpikat dengan permainan yang disuguhkan begitu apik olehnya. SMP kami menang telak.
Sesaat setelah wasit meniup peluit tanda pertandingan telah usai, ku lihat dia tersenyum. Senyum yang amat manis. Para suporter segera berhamburan ke lapangan untuk sekedar mengucapkan selamat atau bahkan meminta foto. Dia memang pemain idola di sekolah. Dia jadi bahan pembicaraan cewek seisi sekolah. Dia pahlawan sekolah. Dan yang lebih membanggakan lagi, dia adalah teman sekelasku!
Aku kenal dia nggak begitu akrab. Aku cuma tahu nama sapaannya, nama lengkapnya, nomor absennya, dan hobinya—kelewatan kalau nggak tahu. Sedangkan alamat rumahnya, makanan favoritnya, asal sekolahnya dan selebihnya aku nggak tahu. Tepatnya nggak kepingin tahu. Dia pasti juga sama denganku. Itu karena kami sama-sama nggak punya kepentingan satu sama lain.
Sampai suatu ketika, ku dapati tubuh jangkung itu meringkuk di bangku depanku. Astaga! Ternyata dia bakalan tetap jadi penghuni bangku itu untuk selamanya di kelas 8 ini. Aku merasakan keganjalan yang amat. Kenapa aku ini? Kenapa darahku mengalir lebih deras dari sebelumnya? Juga jantung ini, kenapa nggak ada capek-capeknya melompat kesana kemari?
***
“Ana, kamu bisa bantu aku nggak?” Suara khasnya memaksaku untuk mendongak. Beralih konsentrasi untuk sekedar tahu bagaimana kelanjutan omongannya.
“Bisa nggak kamu bantu aku menyelesaikan tugas matematika?” Permintaaan yang berujung keheningan itu kini mendera hatiku. Dia, setelah seminggu duduk di depanku dan tanpa pernah menyuguhkan ekspresi menyenangkan itu kini menoleh ke belakang. Menatapku lurus-lurus. Apa ini? Ini nyata?
Susah payah aku meretas rasa nggak percayaku. Ini dia. Sebuah cela buatku untuk lebih jauh “bermain” dengannya. Cela kecil yang akan ku masuki diam-diam. “Bisa!”
Dia ternyata nggak jago dalam segala bidang. Keunggulannya memang di basket. Tapi, kelemahannya hampir di segala bidang pelajaran. Aku maklum, pastilah waktu untuk belajarnya kemakan buat latihan basket saban hari yang pasti juga membutuhkan stamina yang besar. Soal matematika memang jadi momok bagi sebagian siswa. Tapi nggak untukku. Berderet-deret angka sanggup ku lumat habis tanpa ampun. Inilah satu-satunya pelajaran yang jawabannya selalu pasti. Nggak butuh rangkuman pelajaran banyak-banyak.
Diky, begitulah dia disapa, berkali-kali terlihat garuk-garuk kepala. Mungkin penjabaran dariku tadi masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Saat ku tanya mengertikah dia dengan penjabaranku tadi, dia malah tersenyum. Inilah bagian yang aku suka. Saat kedua bibirnya merapat dan bergerak melebar. Manis sekali. Sayangnya, senyum nan manis itu hanya berlangsung sekejap. Ujungnya, dia malah ketawa cekikian. Tawa yang khas yang membuat hasrat tertawaku langsung pecah. Inilah dia, si jangkung yang mengaku memiliki tinggi 175cm yang diam-diam menyelipkan “secuil” perasaan setiap kami sedang terlibat adu pandang.
***
Romantika perjalanan pedekate kami akhirnya mencapai ambang batas. Si jangkung ini ternyata jauh dari tafsiranku. Ku kira dia sebodo amat sama urusan “perasaan”. Namun tidak! Dia lebih terlihat sempurna saat mengirimiku sebuah SMS. Entah apa itu yang dinamakan cara seorang cowok nembak cewek dengan tidak wajar. Ku kira ia hanya bercanda atau salah kirim. Namun saat ku komfirmasi ulang, dia kembali mengirimkan SMS yang isinya sama. Itu berarti dia serius.
Dia kembali meminta jawaban saat kami sedang di kelas. Dan kebetulan berduaan. “Jawabanmu apa, An?” Oh tidak! Bunuh saja aku! Aku nggak kuat melalui semua ini.
Aku hanya diam. Yah, mulut ku terlalu pengecut untuk bersuara “iya”. Jawaban yang kuberikan hanyalah lewat sebuah anggukan kecil. Alhasil, dia tersenyum penuh makna.
***
Seketika kulemparkan tubuhku kuat-kuat ke kasur. Bayangan wajah Diky agaknya nggak mau lepas dari pikiranku. Apa sih maunya? Apa gunanya selama ini dia buat aku melayang oleh deretan kata-kata seanggun itu, meskipun lewat SMS. Dan apa gunanya pula dia mengirimi MMS fotonya pas pertandingan lalu? Apa ia hanya ingin aku terkulai seperti saat ini? Nangis bombay nggak jelas?
Cuma karena seorang temen dekatku tahu hubungan kami, dia jadi pecundang seperti ini? Belum genap juga seminggu kami jadian. Cuma dua hari aku menyandang status sebagai “pacar gelapnya”. Yah, pacar gelap! Memang sulit menjalani hubungan kami ini. Hubungan yang terahasiakan!
Segenapnya aku menghitung detikan jarum. Aku mohon, hari segera beranjak malam. Agar aku bisa memanfaatkan gulitanya malam. Akan ku tenggelamkan si jangkung itu ke warna kelamnya malam. Ku harap selamanya malam mengisi waktu. Agar dia nggak akan terbit lagi dan menyuguhkan sinarnya kepadaku.
Aku dapati segores kenyataan ini, mengalirkan segala emosi di hati
Cintaku hanya setinggi 175 senti
Tapi pahitnya aduh gusti…
Sepertinya si jangkung itu menghadiahkan sebuah hikmah untukku. Hal yang nggak mungkin bisa saja jadi mungkin. Tinggal bagaimana kita memahaminya, mencernanya, dan menerima konsekuensinya.